Sejauh mana ilmu boleh dikomersilkan?

Wahyuni Febriani
2 min readApr 26, 2020

--

Di tulisan ini, saya cuma mau ngebahas pertanyaan di atas pada konteks User Experience. Jadi, tulisan ini sifatnya subjektif dan cenderung curhat aja sih.

Seperti yang kita tahu, bidang UX nggak ada pendidikan formalnya. Kebanyakan praktisi UX punya latar belakang pendidikan yang beragam banget dan kebanyakan dari DKV, IT, psikologi, dan banyak lainnya. Bidang akademis yang paling mirip mungkin Human-Computer Interaction (HCI), tapi kebanyakan ada di jenjang magister dan belum ada programnya di Indonesia.

Dengan keadaan seperti ini, wajar banget jika banyak institusi berlomba-lomba menyediakan program belajar bertemakan UX, baik online maupun offline. Sesuai dengan prinsip ekonomi; ada demand maka ada supply.

Hal ini tentunya positif karena demand tenaga kerja yang kompeten di bidang ini masih lumayan tinggi. Banyak tech startup bermunculan dan banyak korporat ingin melakukan digital transformation.

Saya pun ikut serta jadi bagian hype ini dengan mengajar di beberapa workshop berbekal pengalaman yang saya miliki.

Photo by NeONBRAND on Unsplash

Sebenarnya semua oke-oke saja sampai saya mendengar beberapa cerita dari teman dan kolega yang merasa workshop/kelas yang diikutinya tidak memberikan ilmu yang signifikan alias nggak worth it menurut mereka. Padahal harga yang mereka bayar nggak sedikit, menyentuh jutaan bahkan puluhan juta.

Cerita-cerita ini tentunya bikin saya insecure. Apa materi yang saya kasih di workshop bermanfaat? Apakah ilmu yang saya berikan tepat guna bagi para peserta? Saya cuma bisa berusaha semaksimal mungkin untuk membuat materi ngajar yang benar-benar berguna.

Selain itu saya juga jadi kepikiran; sudah berapa banyak orang yang merasakan hal yang sama? Membayar sejumlah uang untuk mengikutin workshop atau pelatihan tertentu tapi merasa yang didapatkan kurang maksimal.

Dan karena hobi saya overthinking, saya pun bertanya-tanya; how can we make this situation better?

“Hmm, jujur akupun kurang paham.” Photo by Juan Rumimpunu on Unsplash

Belum saja pertanyaan-pertayaan yang mengusik ini terjawab, muncul kontroversi tentang Kartu Prakerja. Tapi nggak perlu kita bahas di sini, nanti jadi mumet :)

Saya sendiri merasa tidak masalah ilmu dikomersilkan selama itu memiliki value dan manfaat yang terukur untuk orang yang menerimanya.

Lalu kalau begitu, bagaimana memastikan bahwa ilmu yang diperjualbelikan itu benar-benar bermanfaat bagi yang “membeli”nya? Apa metriks kesuksesannya? Bagaimana ngukurnya?

Bagaimana memastikan para calon peserta pelatihan ini tidak membeli “kucing dalam karung” lalu merugi?

Bagaimana membuat ilmu ini, walau dikomersilkan, tetap inklusif? Atau apapun yang dikomersilkan sudah otomatis jadi tidak inklusif?

“Bingung~ bingung~ ku memikirkan~” Photo by Ben White on Unsplash

Yaudah gitu aja sih. Namanya juga curhat. Sekian.

--

--

Wahyuni Febriani
Wahyuni Febriani

Written by Wahyuni Febriani

UX Consultant independen. Menulis tentang User Experience dalam Bahasa Indonesia.

Responses (1)