Kenapa harus mulai mempelajari topik Desain Inklusif & Aksesibilitas?

Wahyuni Febriani
4 min readNov 15, 2021

Saat ini saya sedang dalam proses belajar tentang topik ini. Tulisan ini kemungkinan akan saya update seiring progres belajar saya.

Di tulisan ini saya tidak akan menjelaskan apa itu desain inklusif, aksesibilitas, dan berbagai ilmu praktis di dalamnya karena ya saya pun masih belajar. Saya cuma mau bercerita sedikit tentang perkenalan saya terhadap topik ini dan alasan kenapa saya mau mulai mempelajari topik ini lebih dalam.

Titik pertama: Belajar tentang aksesibilitas di kuliah

Ketika menjalani studi S2 beberapa tahun lalu, saya mengambil mata kuliah pilihan berjudul Accessibility & Assistive Technology. Awalnya saya pilih cuma karena tertarik namanya aja dan gak punya ekspektasi apa-apa.

Di pertemuan pertama dengan dosen saya, beliau menjelaskan kenapa topik ini penting dengan sangat sederhana, yang kurang lebih dalam Bahasa Indonesia:

“Penting bagi kita untuk mempelajari aksesibilitas karena suatu saat nanti kita akan menjadi disable atau less-able ketika tua. Gak perlu jauh-jauh, kalian yang matanya minus, tanpa kacamata pun sudah menjadi less-able, kan?”

Bener juga! Saya yang minusnya kecil saja kalau gak pakai kacamata jadi gak berani nyetir & gak bisa baca subtitle di bioskop.

Selama ikut kelas tersebut, saya makin terkagum-kagum sama topik yang dibahas. Tiap minggu ada sharing session dari penyandang disabilitas yang bisa menjalankan keseharian dengan independen karena lingkungan yang didesain accessible. Akesibilitas di UK pun sudah bukan hanya ada di ranah akademis, tapi juga dikerjakan secara serius oleh pemerintah dan sektor swasta karena sudah dianggap punya nilai ekonomi yang besar.

Sumber

Titik kedua: Ikut kolaborasi film dokumenter VR tuli

Suatu saat di 2019, tiba-tiba teman saya, seorang produser & sutradara film, mengajak saya kolaborasi di proyek dokumenternya. Saya diminta bantuan membuat perangkat elektronik untuk melengkapi experience menonton film VR yang dia sedang produksi.

Film ini berjudul Alun, menceritakan keseharian seorang pelatih tari tuli bernama Isro. Ketika menari, Isro bisa merasakan ritme musik melalui “getaran” yang dia rasakan dari sumber suara. Sang sutradara ingin penonton bisa merasakan menjadi Isro dengan memberi stimulasi getaran yang sesuai dengan musik yang sedang diputar di film tersebut. Wow, futuristik ga sih.

Dengan skill elektronik & pemrograman seadanya serta 99% bantuan google, saya akhirnya mendesain vibrating gloves ini. Video cuplikannya bisa dilihat di link ini. Pengalaman ini kembali mengingatkan saya terhadap topik disabilitas & desain yang ternyata seru ketika dikombinasikan.

Titik ketiga: Mempersiapkan rumah masa depan

Setelah lewat masa kuliah dan kembali ke dunia kerja, saya mulai melupakan topik ini, terlarut dalam pekerjaan dan hingar bingar industri teknologi digital.

Sampai saat ini ketika saya, layaknya millenial pada umumnya, sedang mengidam-idamkan memiliki rumah yang desainnya bagus. Saya pun mencari inspirasi desain rumah di internet dan seriiiing banget mbatin:

  • “Ini kok gak ada kamar di lantai bawah sih? Kalau si mama nginep gimana, kan gak bisa naik tangga”
  • “Ini kok ke teras aja ada tangganya. Kalau bawa stroller repot dong? Kalau nanti harus pakai kursi roda gimana?”
  • “Gak mau yang terlalu gede luas rumahnya ah, nanti pas tua bersihinnya repot.”

Dan banyak suara hati lainnya yang gak abis-abis. Di sini saya kembali tersadar akan pentingnya desain yang inklusif & accessible. Dengan memproyeksikan suatu desain untuk dipakai kita di masa tua atau tidak dalam keadaan fisik yang optimal, desain yang inklusif menjadi sangat-sangat masuk akal.

Saya baru merasakan betapa bermanfaatnya pegangan toilet pas hamil & melahirkan. Sumber.

Jadi, kenapa ingin mempelajari topik ini? (Terutama di bidang desain digital)

Beberapa alasan pribadi saya:

Pertama, gak jauh-jauh, saya mau berinvestasi untuk diri saya sendiri di masa depan nanti yang memiliki kemungkin untuk berkurang kemampuan fisiknya, baik karena alasan kesehatan maupun usia lanjut. Saya sebisa mungkin ingin tetap mandiri dan tidak menyusahkan orang lain.

Kedua, (masih tentang diri sendiri wkwk) sebagai generasi yang tumbuh besar bersama teknologi digital, saya rasa akan susah melepas kebiasaan (dan ketergantungan) terhadap produk digital. Saya ingin tetap memanfaatkan teknologi ini di kehidupan saya nanti. Jadi, saya juga harus ikut serta mencicil “culture” dimana aksesibilitas menjadi salah satu pertimbangan utama ketika membuat produk digital.

Ketiga, sebagai desainer tentu dong kita mau karya kita bisa bermanfaat bagi orang lain. Dengan membuat desain yang inklusif, makin banyak yang bisa menikmati manfaat tersebut. Bagus dong ya?

Banyak alasan yang tersedia di luar sana untuk menjelaskan betapa pentingnya topik ini, dari nilai sosial, nilai ekonomi, dan masih banyak lagi. Untuk saat ini, saya berusaha memegang alasan-alasan yang dekat di kehidupan saya dulu. Bukan karena gak peduli dengan orang lain atau teman-teman dengan disabilitas, tapi supaya semangat belajarnya tetap ada terus.

Saya juga menyarankan kalian yang mau belajar juga untuk mencari alasan yang dekat di hati masing-masing.

Mulai belajar dari mana?

Saya gak mau membuat diri overwhelmed karena kebanyakan materi. Jaman sekarang penting banget bikin batasan karena udah terlalu banyak informasi di luar sana. Untuk saat ini saya mau fokus ke sumber-sumber ini dulu:

Belajar bareng, yuk.

--

--

Wahyuni Febriani

UX Consultant independen. Menulis tentang User Experience dalam Bahasa Indonesia.